Segerombolan anak-anak usia belasan, menyambangi rumah tiap blok dari awal hingga akhir, dengan memukul galon kosong sambil sahut-sahutan berteriak "Sahur.... Sahur.... Sahur...." Terlihat penghuni rumah menyalakan lampu dapurnya guna mempersiapkan hidangan santap sahur. Tapi sebagian rumah lagi, ada juga yang bergeming, pulas dalam tidurnya. Sehingga membuat anak-anak mengeraskan bunyinya, hingga penghuni rumah merasa terganggu dan akhirnya bangun. Entah sejak kapan kebiasaan itu ada, dan di kecamatan Cidahu kabupaten Kuningan orang setempat menyebutnya " obrog-obrog ". Alat yang dipukulnya pun bermacam-macam, dan galon kosong itu dipadu padan dengan peralatan bekas lainnya, sehingga terjalin harmony baru. Seandaianya pasukan obrog-obrog tak lewat, penduduk sekitar akan banyak yang kesiangan sehingga waktu sahur jadi mepet ke imsakiyah. Terlebih yang tidurnya pulas, bisa jadi bablas sampai shubuh. Itulah Fitrah manusia, yang karena khilafnya selalu
Ramadhan dan Ngabuburit selalu menyatu dan enggan dipisahkan. Bahkan kata ini munculnya hanya di bulan Ramadhan. Kata yang asalnya berasal dari bahasa Sunda ini, sepertinya sudah merambah ke seantero negeri. Kata dasar ngabuburit adalah "burit" yang artinya sore. Ketika ditambahkan imbuhan menjadi ngabuburit artinya menunggu sore. Akan tetapi untuk kekinian, istilah ngabuburit berubah makna menjadi menunggu waktu berbuka puasa, yang didalamnya berisi kegiatan yang serba Fun alias menyenangkan. Sepakat tidak sepakat, sayapun setuju aja deh dengan definisi baru tersebut. Terus, kenapa tulisan ini menyimpulkan bahwa ngabuburit bikin defisit? Kalau dikaitkan dengan biaya, tentu ini menjadi cost tambahan dari anggaran rumah tangga. Khusus di perkotaan hal ini terasa banget. Bahkan ada yang anaknya menghabiskan sampai puluhan ribu demi naik kuda tunggang, dan permainan lainnya. Nah, apakah di zaman Rasulullah ada kegiatan ngabuburit ini ? Ternyata ngab