Langsung ke konten utama

Belajar Berbagi


Dua hari lalu, saya dan anak tengah saya, pergi keluar untuk belanja keperluan. Awalnya sudah diprediksi, kalau jam 11-an keperluan tersebut bisa selesai, dan bisa sempat untuk shalat jum'atan di masjid dekat rumah. Tapi karena suatu hal, gojek yang kami pesan tak kunjung datang.

Akhirnya saya berkeputusan untuk melakukan shalat jumat di masjid terdekat dari tempat pusat perbelanjaan tersebut. Kami harus bergerak cepat, karena di masjid tersebut jamaahnya suka membludak. Ketika melewati pintu halaman masjid, kami dicegat ibu tua yang minta-minta. Dan dengan melambaikan tangan, saya memberi isyarat tanda tak memberi. Dan dalam pikiran saya kala itu, antrian tempat wudhu yang berjejer panjang. Telat sedikit saja, sudah dipastikan khatib sudah berdiri.


Sesampainya di dalam masjid, sesuatu yang dicari sang anak adalah sebuah kotak infak yang berjejer tiap shaf. Selembar uang lima ribuan dimasukkannya ke dalam kotak infak.  Dan ciumanpun mendarat di keningnya sebagai tanda syukur orangtua.

Usai jumatan kamipun bergegas pulang.Di dalam perjalanan pulang itulah, Ahsan mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya, "Pak, kenapa pas masuk tadi, ada yang perempuan tua minta-minta ga ngasih uang?". Saya berpikir beberapa jenak, dan ungkapan yang saya keluarkan seperti ini, "kakak, kita tadi kan terburu-buru. Sedikit saja telat, keburu khatib naik mimbar".
"Iya, tapi kan cuma sebentar mengeluarkan uang mah pak. Jangan pelit, nanti kaya Qorun loh".

Tsah... sampai sejauh itukah Ahsan beralasan. Sebuah cerita Qorun yang sering saya ceritakan, dan karena pelitnya, Qorun jatuh dalam kehinaan yang dahsyat.


Banyak cara mengajarkan berbagi sejak dini. Termasuk orang tua saya dulu, suka menyuruh saya memberikan infak kalau ada pengemis datang. Atau ada juga yang memberikan sebuah kota kotak infak salah satu yayasan yatim piatu. Sedangkan yang saya lakukan dengan cara memberi contoh. Saya tak menyurh anak saya memberikan infak, tapi saya sendiri yang memberikannya. Karena dengan memberi contoh anak akan menilai tentang kebiasaan yang dilakukan orangtua.

"Berbagi" yang merupakan financial planning, sebuah bagian akan pentingnya berbagi, dan mendulang manfaat bagi keberkahan kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KLASIFIKASI USAHA BERDASARKAN OMZET DAN ASET

Berikut klasifikasi usaha berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008 disebutkan 👉🏻 Kategori Usaha Mikro :   ✒memiliki Aset Maks Rp.50jt   ✒  Omzet per tahun          Maks Rp 300 juta. 👉🏻 Kategori Usaha Kecil:   ✒ memiliki Aset antara          Rp.50jt s.d Rp. 500jt  ✒  Omzet per tahunnya          Rp 300 juta s.d Rp 2.5               milyar  👉🏻 Usaha Menengah : ✒ memiliki Aset antara          Rp.500jt s.d Rp. 10 Milyar  ✒  Omzet per tahunnya          Rp 2.5 M s.d Rp 50 milyar 👉🏻 Usaha Besar : ✒ memiliki Aset       Lebih Dari Rp.10 M  ✒  Omzet per tahunnya          Lebih dari Rp 50 milyar

MARI BELAJAR KEPADA ANAK

                Orangtua dengan label lebih dewasa, ternyata pada prakteknya banyak sekali  melakukan kesalahan terhadap anak.  Rasa malu untuk mengakui  kesalahan, dan  merasa sok segala tahu dibandingkan manusia kecil yang bernama anak.  Hal seperti ini pula yang sering dialami saya, anda dan mungkin banyak orang tua di seluruh dunia. Sepertinya sikap seperti  itu wajar, karena sebagai orang tua sudah makan asam garam lebih banyak dari anak-anak, demikian salah satu peribahasa yang kita kenal.                 Kalau kita teliti secara seksama ternyata banyak sisi positif yang kita ambil dari pribadi belia sang anak.  Sehingga bagi saya, anak merupakan guru kehidupan. Anak bukan saja subjek penanya, tapi anak juga merupakan  orang yang bisa menjawab pertanyaan orang tua. Walaupun tak sepe...

PUNYA ANAK KOQ TAKUT

 Banyak cara dalam membina hubungan dengan customer. Salah satunya dengan cara ngobrol, sekedar tanya kabar atau cerita tentang keluarga. Seperti yang saya lakukan beberapa hari lalu, bertanya pada seorang pelanggan tentang anak yang selalu dibawa ke toko kami setiap dia belanja. "Pak, anaknya baru satu ya?" Demikian saya membuka pertanyaan. Dan dia langsung nyahut, "iya, satu aja sudah puyeung. Apalagi nambah lagi".  "Hemmm... puyeung kenapa pak ? Bukannya nambah anak nambah rezeki?" Timpal saya dipenuhi rasa penasaran. "Wah.... jajannya yang ga tahan, rewelnya juga minta ampun. Belum lagi buat biaya sekolahnya."  Demikian jawaban sang bapak, sementara anaknya sepertinya tak peduli dengan apa yang dilontarkan sang ayah. Anak tersebut kelihatannya manja benar di pangkuan bapaknya. Saya berpendapat demikian, karena merasa tak cocok saja dengan anak usia 6 atau 7 tahunan tapi masih gelendotan  di pangkuan bapaknya. Ini berdasar kacamata s...