Langsung ke konten utama

PUNYA ANAK KOQ TAKUT

 Banyak cara dalam membina hubungan dengan customer. Salah satunya dengan cara ngobrol, sekedar tanya kabar atau cerita tentang keluarga. Seperti yang saya lakukan beberapa hari lalu, bertanya pada seorang pelanggan tentang anak yang selalu dibawa ke toko kami setiap dia belanja. "Pak, anaknya baru satu ya?" Demikian saya membuka pertanyaan. Dan dia langsung nyahut, "iya, satu aja sudah puyeung. Apalagi nambah lagi".

 "Hemmm... puyeung kenapa pak ? Bukannya nambah anak nambah rezeki?" Timpal saya dipenuhi rasa penasaran. "Wah.... jajannya yang ga tahan, rewelnya juga minta ampun. Belum lagi buat biaya sekolahnya."  Demikian jawaban sang bapak, sementara anaknya sepertinya tak peduli dengan apa yang dilontarkan sang ayah.

Anak tersebut kelihatannya manja benar di pangkuan bapaknya. Saya berpendapat demikian, karena merasa tak cocok saja dengan anak usia 6 atau 7 tahunan tapi masih gelendotan  di pangkuan bapaknya. Ini berdasar kacamata saya loh, belum cek and ricek tentang alasan kenapa si bocah kelihatannya manja banget.                       

Hanya dari obrolan tersebut, bisa diambil kesimpulan kalau tingkah anak tersebut, mungkin efek dari anak tunggal, sehingga mendapat perlakuan lebih dari orang tuanya. Maaf, tidak bermaksud menjustifikasi kalau anak tunggal seperti itu loh, cuma sudut pandang saya saja terhadap sikap anak tersebut.  Karena dengan sendirian di dalam keluarga, si anak tak merasa ada yang menyaingi , sehingga akan merasa nyaman karena merasa kasih sayang orang tuanya tak terbagi-bagi. Dan dari bincang ringan itu, saya menangkap ada ketakutan kalau memiliki anak banyak, maka akan bertambah pusing atau jadi beban ekonomi keluarga.

Sebenarnya yang beralasan seperti  itu sangat banyak,  walaupun dengan kalimat yang berbeda. Ada yang alasannya karena rumah masih ngontrak, alasannya karena masih punya utang, merasa belum mapan dan ada pula yang punya alasan takut tak terdidik. Dan semua alasan itu kalau diakumulasikan, berujung pada satu ungkapan yakni, “TAKUT MISKIN”

Kalau rasa takut seperti ini menggejala di bumi Indonesia, lantas siapa yang akan meneruskan estapet keberadaan bangsa ini?  Dan ternyata keenganan punya anak ini, di negara maju seperti Amerika dan Jepang sudah berlangsung lama loh. Dan alasannya mereka tak mau terganggu dengan keasyikannya,  apalagi dalam mind set-nya terpola kalau anak akan menambah biaya kehidupan.  Dari data yang dikumpulkan JFPA (Asosiasi Perencanaan Keluarga Jepang) Pada riset tahun 2013, ternyata 61% pria dan 49% wanita berusia di kisaran 18-34 tahun mereka tidak mau menikah apalagi memiliki anak. Dan alasannya karena mereka merasa enjoy dengan kematangan ekonominya, sehingga dengan menikah dan memiliki anak maka ada tambahan beban biaya hidup.

Semoga sesuatu yang menurut hemat saya horor ini tak terjadi di negeri tercinta Indonesia. Hanya saja bila hal ini terus berlangsung, dibarengi gaya hidup yang serba hedonisme, maka lambat laun akan menjadi gaya hidup buat para orang tua di sekitar kita. Kekhawatiran memiliki anak karena takut miskin ini, ternyata jauh-jauh hari telah diwanti-wanti Allah  lewat  Kalam-Nya dalam QS. Al-israa : 31, yang bunyinya,  “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi  rizki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar”.


Lewat tulisan ini saya tak akan mempermasalahkan program KB yang menjadi program primadona di negeri ini.  Tapi saya ingin mengajak para orang tua terutama yang baru memiliki anak satu, jangan merasa takut dengan kehadiran anak. Mereka tercipta sudah lengkap dengan rezekinya, dan membawa keberkahan tersendiri bagi sebuah rumah tangga. Jangan menunggu mapan dulu untuk memiliki anak, tapi nambah anak justru telah menambah kemapanan, kedewasaan dan beragam pahala yang kita raih. Anak selalu menebarkan vibrasi kebaikan bagi seluruh anggota keluarga. 

Komentar

  1. Benar pak. Tulisannya menjadi pengingat yg baik ini...

    BalasHapus
  2. itu saya banget kaya nya..., anak baru satu.. tapi biaya sekolah dan kebutuhan seakan terus merongrong...,
    pemasukan cuma dari kerja dengan gaji UMR.
    rumah belum punya
    berharap anak dapat penghidupan yang lebih baik kelak, akhirnya memaksakan diri untuk memasukkan anak ke sekolah terpadu.
    akhirnya, umur mendekati kepala 4 masih juga belum mapan..
    dan tetap masih takut nambah anak..
    bukan takut soal nggak bisa kasih makan, tapi takut dengan biaya pendidikannya.
    sebab saya berusaha untuk tidak memasukkan ke sekolah standar.

    kalau sudah begini, sy ingin sekali bertanya kepada ahlinya.. apa yang dimaksud ayat diatas dengan rizki itu mencakup sandang, pangan, papan, dan pendidikan ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KLASIFIKASI USAHA BERDASARKAN OMZET DAN ASET

Berikut klasifikasi usaha berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008 disebutkan πŸ‘‰πŸ» Kategori Usaha Mikro :   ✒memiliki Aset Maks Rp.50jt   ✒  Omzet per tahun          Maks Rp 300 juta. πŸ‘‰πŸ» Kategori Usaha Kecil:   ✒ memiliki Aset antara          Rp.50jt s.d Rp. 500jt  ✒  Omzet per tahunnya          Rp 300 juta s.d Rp 2.5               milyar  πŸ‘‰πŸ» Usaha Menengah : ✒ memiliki Aset antara          Rp.500jt s.d Rp. 10 Milyar  ✒  Omzet per tahunnya          Rp 2.5 M s.d Rp 50 milyar πŸ‘‰πŸ» Usaha Besar : ✒ memiliki Aset       Lebih Dari Rp.10 M  ✒  Omzet per tahunnya          Lebih dari Rp 50 milyar

MARI BELAJAR KEPADA ANAK

                Orangtua dengan label lebih dewasa, ternyata pada prakteknya banyak sekali  melakukan kesalahan terhadap anak.  Rasa malu untuk mengakui  kesalahan, dan  merasa sok segala tahu dibandingkan manusia kecil yang bernama anak.  Hal seperti ini pula yang sering dialami saya, anda dan mungkin banyak orang tua di seluruh dunia. Sepertinya sikap seperti  itu wajar, karena sebagai orang tua sudah makan asam garam lebih banyak dari anak-anak, demikian salah satu peribahasa yang kita kenal.                 Kalau kita teliti secara seksama ternyata banyak sisi positif yang kita ambil dari pribadi belia sang anak.  Sehingga bagi saya, anak merupakan guru kehidupan. Anak bukan saja subjek penanya, tapi anak juga merupakan  orang yang bisa menjawab pertanyaan orang tua. Walaupun tak sepe...