Langsung ke konten utama

Laksana Mengukir Diatas Batu

mengatasi anak yang malas belajar

                                              
                Ada kejadian yang sungguh inspiratif menurut saya. Dalam sebuah halaqoh pekanan, sudah menjadi kebiasaan  murobbi (pembina) kami menagih setoran hapalan surat dari Al-qur’an berapapun kemampuan kita. Hapalan yang diminta tidaklah surat-surat panjang, tapi masih sekitar juz 30 dan juz 29. Tapi walaupun masih sekitar surat pendek, tetap saja bagi saya hal itu bagai kontestasi yang menegangkan. Surat yang satu sudah hapal, pas giliran ke surat berikutnya, surat yang hapal terlebih dahulu malah jadi lupa. Hehehe... maklum sudah berumur, itu alasan klise yang senenarnya pembelaan diri yang sering diutarakan. Tapi berbeda dengan Johan teman saya, dia tak kelihatan tegang bahkan terkesan biasa-biasa saja.  Setiap muroja`ah (mengulang hapalan) selalu lancar jaya tak ada halangan. Santai dan enak didengar bacaannya.

Rasa penasaran dan salut membuat saya bertanya, "hebat kamu hapalannya, apa sih rahasianya biar hapalan cepat nempel dan tak lekas hilang?  Kalau saya mah, pekan ini hapal ayat ini, pekan depan setelah maju satu ayat, malah yang sekarang  lari dari kepala". Ditanya seperti itu,  Johan hanya nyengir kuda dan  menjelaskan   kenapa hapalannya bagus.  “Sebenarnya hapalan juz 29 dan juz 30 ini, saya hapal karena hasil menghapal dulu waktu anak-anak, jadi kalau sekarang itu cuma mengulang saja”.  Demikian penjelasan Johan yang bagi saya terkesan, karena jadi teringat akan sebuah ungkapan termashur dari seorang ulama besar generasi Thabi’in, Hasan Al-basri, yang berbunyi,  “Belajar di waktu kecil  bagai mengukir di atas batu, belajar sudah dewasa bagai mengukir di atas air”.

Belajar semasa kanak-kanak, dengan izin Allah SWT selalu membekas hingga dewasa. Maka tak heran kalau banyak ulama yang kesohor karena ilmunya, justru karena dari sejak kecil sudah disibukkan dengan ilmu pengetahuan. Sebut saja sahabat Rasulullah seperti Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Anas bin Malik dan lain sebagainya. Generasi setelahnya ada imam syafi’i, Alghazali, Al-Imam  Nawawi dan masih banyak lagi. Dan kalau membaca buku biografi tentang mereka sungguh  membuat kita tercengang. Mereka terkenang sampai sekarang karena luasnya ilmu mereka yang semenjak kecil diraihnya.  Otak dan hatinya yang masih bersih membuat anak-anak sangat cepat menangkap dan mengendapkan dalam ingatannya,  sehingga kelak setelah dewasa, apa yang diketahuinya akan terasa manfaatnya.

Kemashuran ilmu para ahli ilmu  yang melegenda sampai sekarang, semua tak terlepas dari peran serta orang tuanya. Seperti yang dilakukan Fatimah binti Ubeidillah, ibunda imam syafi’i yang semenjak dari ayunan  tak henti-hentinya memberikan fondasi ilmu, mendorong agar terus menghapal sehingga wajar kalau di usia relatif belia  yakni 7 tahun, Syafi’i kecil sudah hapal 30 Juz Al-Quran, dan di usia 9 tahun sudah hapal banyak hadist.


Mengajarkan ilmu pengetahuan sejak dini kepada anak-anak selain ladang amal bagi orang tua, ternyata lebih dari itu sebab hasil yang akan dinikmati, bukan buat  dirinya saja tapi berguna bagi sesama di zamannya bahkan sampai meninggal sekalipun. Sehingga tak  heran  kalau pahalanya  terus mengalir selamanya.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KLASIFIKASI USAHA BERDASARKAN OMZET DAN ASET

Berikut klasifikasi usaha berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008 disebutkan 👉🏻 Kategori Usaha Mikro :   ✒memiliki Aset Maks Rp.50jt   ✒  Omzet per tahun          Maks Rp 300 juta. 👉🏻 Kategori Usaha Kecil:   ✒ memiliki Aset antara          Rp.50jt s.d Rp. 500jt  ✒  Omzet per tahunnya          Rp 300 juta s.d Rp 2.5               milyar  👉🏻 Usaha Menengah : ✒ memiliki Aset antara          Rp.500jt s.d Rp. 10 Milyar  ✒  Omzet per tahunnya          Rp 2.5 M s.d Rp 50 milyar 👉🏻 Usaha Besar : ✒ memiliki Aset       Lebih Dari Rp.10 M  ✒  Omzet per tahunnya          Lebih dari Rp 50 milyar

MARI BELAJAR KEPADA ANAK

                Orangtua dengan label lebih dewasa, ternyata pada prakteknya banyak sekali  melakukan kesalahan terhadap anak.  Rasa malu untuk mengakui  kesalahan, dan  merasa sok segala tahu dibandingkan manusia kecil yang bernama anak.  Hal seperti ini pula yang sering dialami saya, anda dan mungkin banyak orang tua di seluruh dunia. Sepertinya sikap seperti  itu wajar, karena sebagai orang tua sudah makan asam garam lebih banyak dari anak-anak, demikian salah satu peribahasa yang kita kenal.                 Kalau kita teliti secara seksama ternyata banyak sisi positif yang kita ambil dari pribadi belia sang anak.  Sehingga bagi saya, anak merupakan guru kehidupan. Anak bukan saja subjek penanya, tapi anak juga merupakan  orang yang bisa menjawab pertanyaan orang tua. Walaupun tak sepe...

PUNYA ANAK KOQ TAKUT

 Banyak cara dalam membina hubungan dengan customer. Salah satunya dengan cara ngobrol, sekedar tanya kabar atau cerita tentang keluarga. Seperti yang saya lakukan beberapa hari lalu, bertanya pada seorang pelanggan tentang anak yang selalu dibawa ke toko kami setiap dia belanja. "Pak, anaknya baru satu ya?" Demikian saya membuka pertanyaan. Dan dia langsung nyahut, "iya, satu aja sudah puyeung. Apalagi nambah lagi".  "Hemmm... puyeung kenapa pak ? Bukannya nambah anak nambah rezeki?" Timpal saya dipenuhi rasa penasaran. "Wah.... jajannya yang ga tahan, rewelnya juga minta ampun. Belum lagi buat biaya sekolahnya."  Demikian jawaban sang bapak, sementara anaknya sepertinya tak peduli dengan apa yang dilontarkan sang ayah. Anak tersebut kelihatannya manja benar di pangkuan bapaknya. Saya berpendapat demikian, karena merasa tak cocok saja dengan anak usia 6 atau 7 tahunan tapi masih gelendotan  di pangkuan bapaknya. Ini berdasar kacamata s...